Drama BBM telah usai, pemerintah menyikapi penolakan BBM di awal April dengan satu jebakan yang amat dasyat; Kini Rakyat harus menghadapi fenomena lain tentang masalah BBM di Indonesia. Alih-alih keinginan rakyat agar pemerintah sadar dan kembali pada amanat UUD 45 yaitu pasal 33 yang berbunyi” Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Jauh panggang daripada api;
Ketua DPR Marzuki Alie yang merupakan pimpinan dengan forum yang disetujui Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKB, Fraksi PPP, dan Fraksi PKS, akhirnya memutuskan untuk memilih opsi ke 2 yaitu pasal 7 ayat 6 RUU APBN-P 2012 tentang kewenangan menyesuaikan harga BBM.
Pasal 7 ayat 6 a berbunyi “ jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15% (Lima Belas persen) dari ICP yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, Pemerintah dapat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya.
Ini artinya kenaikan BBM ke depan sudah pasti dapat dilakukan oleh pemerintah (pemerintah memiliki legalitas hukum yang kuat bersandar pada Pasal 7 ayat 6 a 2012), Jika RUU ini disahkan, maka rakyat yang nantinya tidak setuju, tentang kenaikan BBM akan diartikan sebagai melawan hukum. Di sini Ironis karena suara rakyat yang hamper 99% menolak kenaikan BBM dan ingin agar pemerintah kembali mempertimbangkan amanat pasal 33 UUD 45, namun oleh Perwakilan rakyat (DPR) justru tidak disuarakan, yang akhirnya DPR sungguh tampak bukan perwakilan rakyat melainkan perwakilan kepentingan Partai Politik dan kekuasaan.
Ini artinya kenaikan BBM ke depan sudah pasti dapat dilakukan oleh pemerintah (pemerintah memiliki legalitas hukum yang kuat bersandar pada Pasal 7 ayat 6 a 2012), Jika RUU ini disahkan, maka rakyat yang nantinya tidak setuju, tentang kenaikan BBM akan diartikan sebagai melawan hukum. Di sini Ironis karena suara rakyat yang hamper 99% menolak kenaikan BBM dan ingin agar pemerintah kembali mempertimbangkan amanat pasal 33 UUD 45, namun oleh Perwakilan rakyat (DPR) justru tidak disuarakan, yang akhirnya DPR sungguh tampak bukan perwakilan rakyat melainkan perwakilan kepentingan Partai Politik dan kekuasaan.
0 komentar:
Posting Komentar