Prolog
Banyaknya Klien yang mengadukan tentang nasib mereka sebagai seorang perempuan dalam menuntaskan perjanjian dalam perkawinan tersebut, Penulis tertarik untuk ikut bertukar pikiran seputar Kawin Kontrak, dampak dan bagaimana hukum perkawinan Islam menjawab. Penulis mendampingi para korban kawin kontrak bukan dalam ranah kontraversi ini, melainkan hanya dalam lingkup pemberdayaan, penyelesaian kasus perjanjian dan pengingkarannya (wanprestasi).
Fenomena kawin Kontrak bukan merupakan fenomena baru di Indonesia, khususnya dalam masyarakat Islam. Di sebuah desa di Bogor, fenomena tersebut menjadi suatu yang tampak terjaga, artinya tidak ada upaya khusus yang dilakukan baik oleh pemerintah setempat maupaun pemerintah pusat untuk menyelesaikan permasalahan kawin kontrak tersebut, seperti dampak bagi moral masyarakat setempat.
Sebagai Advokat saya akan berbicara secara hukum dalam hal ini adalah hukum perjanjian. Sebelum membahas persoalan kawin kontrak ditinjau dari segi hukum perjanjian. Saya akan mengajak para pembaca untuk mencermati pasal-pasal dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sehubungan dengan persolan kawin k ontrak tersebut.
Definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 :
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sumai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".
Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin; ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas. Menurut saya sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk perjanjian atau kontrak).
Dijelaskan pula didalam penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki peranan penting. Memiliki keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturuanan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Di dalam Bab V, Perjanjian Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak membenarkan adanya kawin kontrak.
Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang (Pasal 1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam klausula kawin kontrak pada umumnya".
Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
(bersambung)
Fenomena kawin Kontrak bukan merupakan fenomena baru di Indonesia, khususnya dalam masyarakat Islam. Di sebuah desa di Bogor, fenomena tersebut menjadi suatu yang tampak terjaga, artinya tidak ada upaya khusus yang dilakukan baik oleh pemerintah setempat maupaun pemerintah pusat untuk menyelesaikan permasalahan kawin kontrak tersebut, seperti dampak bagi moral masyarakat setempat.
Sebagai Advokat saya akan berbicara secara hukum dalam hal ini adalah hukum perjanjian. Sebelum membahas persoalan kawin kontrak ditinjau dari segi hukum perjanjian. Saya akan mengajak para pembaca untuk mencermati pasal-pasal dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sehubungan dengan persolan kawin k ontrak tersebut.
Definisi Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 :
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai sumai istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa".
Dengan memahami definisi diatas bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin; ini berarti bahwa kawin kontrak sangat bertentangan dengan makna yang tersirat dalam Pasal diatas. Menurut saya sebagai seorang Advokat, kawin kontrak ini mendasarkan pada ikatan lahiriah saja, tidak secara batiniah, karena sesuatu perasaan seharusnya tidak dapat dibatasi dengan waktu tertentu (yang berbentuk perjanjian atau kontrak).
Dijelaskan pula didalam penjelasan pasal 1 tersebut bahwa perkawinan memiliki hubungan yang erat dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir atau jasmani tetapi unsur batin (rohani) memiliki peranan penting. Memiliki keluarga yang bahagia erat kaitannya dengan keturuanan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan, menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Di dalam Bab V, Perjanjian Perkawianan Pasal 29, ayat 2 menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.
Dari uraian pasal-pasal diatas, jelas bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tidak membenarkan adanya kawin kontrak.
Ditinjau dari segi Hukum Perjanjian, tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya satu perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata, mengatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal.
Sedikit membahas tentang pasal 1320 BW, ayat ke-1 dan ke-2 merupakan syarat subjektif, dalam suatu perjanjian artinya jika syarat tersebut tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjian menjadi batal demi hukum, kemudian ayat ke-3 dan ke-4 disebut sebagai syarat objektif. Kembali ke masalah kawin kontrak, jelas sekali bahwa syarat objektif tersebut diatas tidak dipenuhi. Sesuatu yang dapat diperjanjikan menurut syarat objektif adalah hanya berupa barang-barang (Pasal 1332 BW) dan bukan perasaan, sebagimana dimaksudkan dalam klausula kawin kontrak pada umumnya".
Jadi, Secara Hukum kawin kontrak tidak dapat diterima sebagai suatu perjanjian yang sah karena memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sehingga Kawin Kontrak dapat dibatalkan. Sebagai Bahan rujukan dapat dilihat dalam pasal 1337 BW yang berbunyi " Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang dalam UU atau berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1335 suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan.
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar