A. Latar Belakang
Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1997, membuat sejumlah perusahaan berskala besar jatuh terpuruk, dan tidak sedikit juga hal itu dialami oleh perusahaan-perusahaan berskala kecil. Namun demikian bagi perusahaan kecil-menengah (UMKM) baik formal maupun informal ternyata mereka lebih sanggup bertahan dan justru segera dapat kembali pulih dan berkembang menata usahanya lebih cepat disbanding perusahaan-perusahaan besar. Seperti yang telah dibuktikan dengan data statistik populasi sektor UMKM mencapai 90,9% dari 42 juta unit usaha di Indonesia yang ternyata mampu menjadi penopang perekonomian nasional.
Laju perkembangan yang terus meningkat secara langsung akan memperkuat struktur perekonomian nasional dan hal itu terjadi karena adanya dukungan pendanaannya oleh lembaga keuangan baik perbankan maupun non bank. Lembaga keuangan baik yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta mempunyai peran strategis, sebagai agent of development untuk membangun perekonomian yang pada akhirnya turut serta meningkatkan kesejahteranaan masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa sejalan dengan program pemerintah yang menetapkan bahwa mulai tahun 2005 ditetapkan sebagai Keuangan Mikro, dimana sebagian energi dan keberpihakan lembaga keuangan diarahkan untuk memberdayakan sektor usaha mikro, maka dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil, masing-masing lembaga keuangan berkompetisi dalam penyaluran dananya untuk membantu sektor UMKM. Banyak diantara BUMN yang sukses menyalurkan kreditnya, tetapi tidak sedikit yang justru tidak mampu melaksanakan program tersebut, walapun alokasi dana yang tersedia cukup melimpah.
Apa yang dilakukan perbankan juga dilakukan oleh pegadaian sebagai lembaga keuangan non bank yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang mana pasca krisis turut berpartisipasi membantu program pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraaan masyarakat kecil/ menengah melalui jasa layanan kreditnya dengan jaminan gadai & fidusia.
Pegadaian sebagai BUMN berbentuk Perusahaan Umum (PERUM) mempunyai kedudukan strategis dalam membangun perekonomian masyarakat kecil/menengah, yaitu membantu Pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil/menengah melalui jasa penyaluran kredit atas dasar hukum gadai dan usaha lain yang menguntungkan( pasal 7 P.P.103/2000) hal ini sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 36 U.U.No.19/2003 tentang BUMN bahwa maksud dan tujuan PERUM adalah "Menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan jasa barangdan/atau jasa yang berkuallitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat".
Sebagai Perusahaan yang berbentuk PERUM dibebani tugas ganda yaitu Public Service Obligation (PSO) dan Profit Oriented (pasal 6 P.P.103/2000), dua tugas tersebut bertolak belakang disatu sisi mengharuskan untuk memberikan pelayanan kemanfaatan umum kepada masyarakat dengan mengabaikan aspek bisnis, namun disi lain ditugaskan oleh Pemerintah agar Perusahaan harus menghasilkan laba. Menurut penjelasan pasal 36 U.U.No.19/2003 proporsi tugas tersebut lebih dititik beratkan kepada pelayanan demi kemanfaatan umum dari pada mencari laba, sehingga apabila misi PSO ini dijalankan secara konsekwen membawa kewajiban bagi Pemerintah untuk menyediakan dana secukupnya untuk melaksanakan fungsi tersebut.
Kondisi dilapangan ternyata tidak demikian Pemerintah tidak berkehendak memberikan tambahan modal (modal penyertaan) padahal Perusahaan sangat membutuhkan tambahan permodalan mengingat perkembangan usahanya yang terus meningkat, disisi lain Pemerintah menghendaki agar Perusahaan selalu terus menciptakan dan meningkatkan nilai (value creation and improving) agar perusahaan mampu meraih keuntungan (profitabilitas) yang sebesarbesarnya untuk disumbangkan devidennya kepada Pemerintah, mengingat target deviden tahun 2006 ini untuk seluruh BUMN (144 BUMN) mencapai 23,5 trilliun rupiah meningkat 100% dari tahun 2005.
Apabila kedua fungsi tersebut dilakukan secara konsekwen oleh BUMN yang berbentuk PERUM maka dapat dibayangkan bahwa betapa beratnya mengelola sebuah perusahaan yang dibebani porsi tugas sosial lebih besar tetapi harus menghasilkan laba untuk disetorkan kepada Pemerintah. Kebijakan yang ditempuh Pegadaian dalam mengemban tugas tersebut adalah dengan menerapkan kebijakan subsidi silang, artinya disatu sisi Pegadaian melaksanakan PSO untuk kemanfaatan umum dengan konsekwensi ditandai dengan banyaknya kantor cabang khususnya di P.Jawa yang merugi. Untuk menutup kerugian atas pelayanan umum tersebut dibiayai dengan kegiatan usaha yang dapat memberi keuntungan. Konkritnya selama ini Pegadaian menyalurkan kredit dengan skim jaminan gadai dan fidusia untuk skim kredit jaminan gadai yang nilainya kecil (golongan A) yaitu pinjaman Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 150.000,- sebenarnya merugi karena beban biaya operasional lebih besar dari pendapatan, namun hal ini bisa ditutup oleh pendapatan dari penyaluran kredit gadai golongan B, C dan D, kredit kreasi /krasida dengan nilai pinjaman sampai dengan Rp. 50.000.000,- yang menghasilkan keuntungan (surplus).
B. Undang-Undang Anti Monopoli dan RUU Jasa Gadai
Dibukanya era perdagangan bebas dengan terbitnya U.U.No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka setiap orang mempunyai kebebasan melakukan kegiatan dalam berbagai jenis usaha termasuk usaha jasa gadai kecuali yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Dalam U.U.No.5 tahun 1999 secara tegas melarang praktek monopoli termasuk yang dilakukan oleh BUMN. Undang-undang tersebut membawa iklim kondusif bagi Para pelaku usaha untuk menjaga agar dapat tercipta persaingan usaha yang sehat.
Persaingan perlu dijaga eksistensinya agar tercipta efisiensi baik oleh Pengusaha maupun masyarakat sebagai konsumen. Dengan persaingan akan diperoleh harga yang murah dengan kualitas barang/jasa yang baik. Larangan praktek monopoli diantaranya dalam bentuk Larangan melakukan kegiatan- kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopli dan atau persaingan usaha tidak sehat yaitu melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang atau jasa (pasal 17 ayat (1).
Dalam ayat (2) pasal 17 ditentukan bahwa Pelaku Usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang apabila barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya atau mengakibatkan Pelaku usaha lain tidak dapat masuk kedalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama. Namun demikian pengecualian praktek monopoli ini dapat saja dilakukan oleh suatu lembaga tertentu asalkan ditunjuk oleh Pemerintah yang pelaksanaannya harus ditetapkan dalam bentuk undang-undang dengan mendapat persetujuan DPR.
Adanya Undang-undang No.5 tahun 1999 merupakan tantangan bagi Pegadaian karena selama ini bisa dikatakan sebagai boleh dikatakan pemegang monopoli. Namun apabila dikaji lebih dalam sebenarnya Perum Pegadaian tidak berkedudukan sebagai pemegang monopoli, karena telah banyak lembaga perbankan/jasa keuangan lain dalam menjalankan usahanya yang menerapkan sistem gadai dalam skim kreditnya.
Walaupun untuk kondisi sekarang masih sebagai market leader, tetapi rasa was-was kalah bersaing dengan pelaku pasar lainnya itu tetap ada apalagi bilamana formula usaha jasa gadai ini juga diberikan kepada pihak swsata sebagaimana rencana Pemerintah hendak meluncurkan Undang-undang jasa gadai.
Adanya Rancangan Undang-Undang Jasa gadai tersebut secara langsung merupakan ancaman bagi Pegadaian, karena tidak menutup kemungkinan akan tumbuh menjamur diberbagai tempat lembaga-lembaga keungan yang melakukan usaha atau bisnis serupa pegadaian. Persaingan akan semakin ketat siapa kuat akan menjadi pemenangnya, dan tidak menutup kemungkinan pihak Swasta akan mengambil alih posisinya (market leader), karena unggul dalam pelayanan terutama dari segi harga yang lebih rendah dari Pegadaian.
Dalam RUU tersebut ditentukan bahwa bentuk hukumnya adalah Perseroan terbatas (PT) dan Perusahaan Umum (Perum). Status PT sebagaimana dimaksud dalam U.U.No.1 tahun 1995 didirikan dengan tujuan untuk mencari keuntungan semata, berbeda halnya dengan Perum yang juga dibebani tugas sosial. Tidaklah fair apabila kedua badan hukum tersebut harus berkompetisi dalam lingkup bisnis yang sama. Status PT secara teoritis akan lebih efisien pengelolaannya karena dapat berkonsentrasi penuh dalam mencari keuntungan, berbeda halnya dengan status Perum yang notabene adalah Perusahaan milik negara (BUMN). Untuk mengatasi hal itu idealnya memberikan kebijakan khusus apabila Pegadaian masih dikehendaki berstatus Perum, yaitu dengan memberikan dukungan permodalan yang memadai untuk menjalankan fungsi sosialnya.
Dalam RUU Jasa Gadai ditentukan bahwa besarnya Sewa Modal (tarif bunga) ditentukan sendiri oleh Perusahaan, hal ini berarti bahwa setiap badan usaha mempunyai kebabasan dan pasarlah yang akan memberikan penilaian mampu tidaknya dalam persaingan. Setidaknya Pemodal kuat akan menawarkan jasanya dengan harga relative murah sehingga kondisi demikian akan menyulitkan bagi Perum untuk bersaing. Dengan Perusahaan Swasta pemodal kuat. Posisi Perum sangat dilematis, disatu pihak harus berani bersaing disisi lain kondisi permodalannya kurang mendukung. Bila Pemerintah konsisten sebagai regulator dan sebagai player (Pelaku bisnis) tentunya juga harus konsisten dan fair dalam memperlakukan setiap badan usaha termasuk yang berstatus BUMN dengan memberikan kondisi dan tugas yang sama, atau bila tetap dengan kondisi semula diberikan bantuan penyertaan modal yang memadai.
Dalam sistem gadai sebagaimana dimaksud dalam pasal 1150 KUHPerdata, merupakan hak kebendaan kreditur terhadap benda bergerak yang menjadi obyek jaminan. Kreditur mempunyai hak preference untuk mengambil pelunasan secara didahulukan dari kreditur lainnya apabila pihak debitur ingkar janji tidak melaksanakan pembayaran utangnya. Penyerahan barang sebagai obyek jaminan pada umumnya dilakukan dari tangan ke tangan , yaitu penyerahan (levering) secara kontan dan konkriet dari pemberi jaminan (debitur) kepada penerima jaminan (kreditur). Selama ini Pemberi jaminan dianggap sebagai pemilik barang ( pasal 1977 ayat (2) KUHPerdata) padahal dalam praktek tidak selalu demikian .
Pelaksanaan ketentuan pasal 1977 KUHPerdata tersebut masih rawan terhadap unsur pidana, karena sifatnya anggapan sepanjang tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dalam kasus kriminal yang menimpa Pegadaian, sering dituduh sebagai penadah (pasal 480 KUHPidana) karena menerima barang jaminan berasal dari hasil kejahatan. Dalam praktek tidak semua barang bergerak didukung oleh surat bukti kepemilikan, kecuali kendaraan (motor/mobil) ada BPKBnya, lain halnya dengan bukti kepemilikan benda tetap (tanah/bangunan) yang selalu didukung dengan sertifikat kepemilikan.
Dengan lahirnya Undang-undang No..42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia membawa keluwesan dalam hukum jaminan, terutama gadai, barang tidak perlu lagi diserahkan kepada Kreditur tetapi cukup hak kepemilikannya saja sedangkan obyek jaminan tetap dikuasai oleh Debitur. Untuk melindungi kepentingan Kreditur, maka Debitur diwajibkan melakukan perawatan obyek jaminan dan adanya sanksi pidana bilamana pihak Debitur menyalahgunakan / mengalihkan obyek jaminan.
Sistem jaminan fidusia ini diterapkan oleh Pegadaian dalam skim kredit kreasi (kredit angsuran system fidusia), yang ternyata memperoleh tanggapan positip dari masyarakat. Dana yang disalurkan berasal dari surat utang pemerintah rekening 005 sebesar 200 milyard rupiah Dalam waktu kurang dari setahun sudah terserap 400 milyard rupiah lebih, karena tariff bunganya relatif murah yaitu 12% setahun. Untuk mendanai kredit kreasi ini terpaksa Pegadaian harus mencari dana tambahan dari lembaga perbankan yang tarif bunga bersifat komersiel. Secara bisnis dana talangan dari lembaga perbankan tersebut rugi bila diperuntukkan pendanaan kredit kreasi, namun karena dalam rangka mengemban misi perusahaan maka itu merupakan resiko yang disadari.
Dilapangan ternyata Kredit yang ditujukan untuk sektor usaha mikro formal/informal ini ternyata mampu bersaing dengan paket kredit UMKM yang disalurkan oleh lembaga perbankan maupun lembaga keuangan BUMN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pangsa pasar kredit UMKM masih potensial untuk dikembangkan sebagai amanat dan perwujudan dari misi perusahaan yang digariskan oleh pemerintah.
C. PENUTUP
Dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Pemerintah menugaskan BUMN yang berbentuk Perusahaan Umum (Perum) untuk turut serta membantu Pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkuallitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Tugas tersebut diujudkan sebagai public service obligation (PSO) memberikan pelayanan umum kepada masyarakat dan mencari keuntungan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Untuk menjalankan misi layanan tersebut, Pegadaian cukup berhasil apabila dilihat dari indikator perkembangan out letnya hingga saat ini telah mencapai sekitar 800 kantor cabang tersebar diseluruh pelosok tanah air demikian pula apabila dilihat dari pencapaian omzet di mana tahun 2005 mencapai 13, 3 triliun rupiah dan untuk tahun 2006 ditargetkan mencapai 14, 8 triliun rupiah. Dilihat dari jumlah angka tersebut diperlukan modal kerja sebesar 4,73 trilliun rupiah, padahal modal sendiri sekitar 513 milyard rupiah ini berarti bahwa komposisi permodalan Pegadaian masih didominasi dari pinjaman utang.
Dalam memenuhi kebutuhan permodalan tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 12 P.P.103 tahun 2000, Pegadaian diberikan kewenangan menerbitkan obligasi (surat utang) dalam rangka pengerahan dana masyarakat dan untuk pelaksanaannya diperlukan izin dari Pemerintah selaku Pemegang saham tunggal. Disamping dengan menerbitkan obligasi juga dilakukan peminjaman rekening koran ke lembaga perbankan untuk mengatasi kebutuhan permodalan yang setiap tahunnya terus meningkat. Permasalahan permodalan ini sangat komplek., karena perbandingan modal sendiri dengan modal pinjaman ( Debt equity Ratio) saat ini yang hampir mencapai 1 berbanding 5 dan tentunya akan terus meningkat seiring dengan perkembangan usaha Pegadaian. Dengan semakin besar pinjaman permodalan sebenarnya mempunyai risiko semakin tinggi pula, yang apabila tidak mampu memenuhi kewajiban utangnya tidak menutup kemungkinan pihak kreditur dapat melakukan tuntutan kepailitan.
Konsekwensi modal kerja dari pinjaman berarti harus mampu menjual dengan harga yang relative tinggi apabila ingin memperoleh margin keuntungan, padahal Pegadaian dibebani PSO yang harus menjual dengan harga rendah terjangkau oleh masyarakat kecil lemah ekonominya . Apabila porsi PSO ini lebih besar sebagaimana diamanatkan pasal 36 U.U.No.19/2003 bisa dipastikan suatu ketika Pegadaian dapat dipailitkan oleh Investor bilamana tidak mampu membayar kewajibannya pada waktunya.
Permasalahan permodalan ini tiada kunjung berakhir, karena Pemerintah belum mampu memberikan suntikan modal penyertaan sebagai tambahan modal kerja. Padahal apabila dilihat dari anggaran dasarnya (pasal 7 P.P.No.103/2000) maka misi Pegadaian sebenarnya dapat dikatakan sebagai agent of development yaitu membantu Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan perekonomian rakyat kecil. Oleh karena itu sudah selayaknya mendapat perhatian tambahan modal penyertaan agar Pegadaian dapat benar-benar menjalankan fungsi Public Service obligation (PSO) secara benar dan konsisten.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Penerbit : Armico, Bandung, 1987.
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Penerbit : PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993.
---------, Hans Kelsen, Dalam Lily Rasjidi, Hukum Positif, Penerbit : Imco, Bandung, 1993.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat .
Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia.
Undang-undang Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 tentang Perusahaan umum (Perum)
Pegadaian.
UU ANTI MONOPOLI DAN PERAN PEGADAIAN
Aktif Sebagai Pengacara Sejak 2008
Aktif di Paguyuban Jawa Tengah
Aktif dan Pendiri Law FirmPurwadi & Associaties
Aktif di Kantor Hukum PPIP
Pernah Aktif dalam pendirian Kantor Hukum M186 (Moeldoko)
Aktif di ESP Law Firm
0 komentar:
Posting Komentar