A. Latar Belakang
Datangnya era reformasi tahun 1998 telah banyak mendatangkan perubahan pada system hukum di Indonesia, termasuk dalam hukum perbankan dan lembaga keuangan lainnya, meskipun perubahan tersebut belum sepenuhnya dapat terimplementasi dengan baik, dan bermanfaat bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara luas. Salah satu perubahan yang ada yaitu terbentuknya Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang tidak lagi menjadi bagian dari eksekutif dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Eksistensi Bank Indonesia menjadi jelas dengan diakuinya suatu Bank sentral di Indonesia dengan adanya amandemen terhadap UUD Tahun 1945, yaitu pada Pasal 23 D.
Adanya amandemen UUD 1945 yang terjadi sebanyak 4 (empat) kali dan penamaan dari UUD Tahun 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dalam masalah yang berkaitan, sehingga penerapan sanksi terhadap pelanggarannya juga terlaksana secara transparan dan tidak diskriminatif. Amandemen UUD 1945 mencakup banyak hal tentang UU perbankan, salah satu materi muatan yang baru yaitu diakuinya bahwa negara memiliki suatu Bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Secara implisit dengan amandemen terhadap UUD 1945 adalah dicantumkannya Pasal 23 D UUD Negara RI Tahun 1945, yang intinya mengatakan bahwa Bank Indonesia diakui sebagai Bank sentral di Indonesia.
Berbicara tentang Perbankan, maka tidak semata hanya sebatas keberadaan Bank Indonesia sebagai Bank sentral, tetapi juga berbicara tentang Perbankan pada umumnya sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta tindak pidana yang menggunakan Bank sebagai media perbuatan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan dibentuknya suatu lembaga yang mencegah terjadinya bangkrutnya Bank karena kesalahan manajemen dengan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan melalui UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Hal yang menarik lainnya dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 serta UU lainnya, maka sebenarnya secara tidak sadar, sistem hukum Indonesia melakukan perluasan terhadap perbuatan tindak pidana, sebab selama ini kalau diperhatikan maka pengenaaan sanksi pidana hanya dapat dikenakan terhadap orang semata, maka dalam hukum Perbankan, perbuatan tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang, tetapi perbuatan tindak pidana dapat dilakukan oleh badan dan korporasi.
Walaupun UU No.. 23 Tahun 1999 jo UU No.. 3 Tahun 2004 telah menempatkan Bank Indonesia sebagai Bank sentral dan sebagai suatu lembaga negara, tetapi bila dilihat dari materi muatannya, ternyata eksistensi Bank Indonesia dibatasi oleh aturan yang mengikat Bank secara kelembagaan juga adanya pengaturan yang membatasi pejabat Bank Indonesia serta karyawan Bank Indonesia untuk bekerja sesuai dengan tujuan, tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia.
UU No.. 23 Tahun 1999 jo UU No.. 3 Tahun 2004 hanya mengatur kepentingan Bank Indonesia sebagai pusatnya Perbankan di Indonesia, UU Bank Indonesia tidak mengatur teknis Perbankan, sebab teknis Perbankan tunduk kepada UU No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No.. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Jadi pengenaan sanksi yang berhubungan dengan teknis Perbankan tunduk kepada UU Perbankan.
B. Tugas Dan Wewenang Bank Indonesia
Bank Indonesia adalah Bank sentral sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 D UUD Negara RI Tahun 1945 dan sebagai suatu Bank sentral, Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain. UU Bank Indonesia juga menegaskan bahwa Bank Indonesia adalah badan hukum. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, dan ketentuannya menegaskan sebagai suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban dan larangannya.
Dalam UU Bank Indonesia disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dengan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. Untuk mencapai tujuan tersebut. Bank Indonesia mempunyai tugas yaitu ; menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan mengatur dan mengawasi Bank.
Ketiga tugas yang dimiliki oleh Bank Indonesia diimplementasikan dalam sejumlah kewenangan yang disesuaikan dengan tugas dari Bank Indonesia tersebut Berdasarkan tujuan, tugas dan kewenangan Bank Indonesia tersebut, maka dapat dilihat pengaturan lebih lanjut tentang penerapan sanksi pada UU Bank Indonesia.
C. Pengaturan Sanksi Menurut UU No. 23 Tahun 1999.
Dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, hal mengenai pengaturan sanksi diatur pada Bab XI tentang Ketentuan Pidana dan Sanksi Administratif, yang diatur dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 72. Bila dilihat pengaturan dari tindak pidana tersebut, maka berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999, dapat ditabulasikan pelanggaran tindak pidana dapat dilakukan oleh :
1. Barang siapa;
2. Pejabat Bank Indonesia (Anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia, pegawai Bank
Indonesia);
3. Bank Indonesia;
4. Pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia, dan
5. Badan.
Dalam UU Bank Indonesia, perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh barang siapa terdapat pengaturannya pada Pasal 65, Pasal 66 dan Pasal 67. Makna barang siapa yang termaktub dalam ketiga pasal tersebut sifatnya tidak signifikan bahkan dapat dikatakan samar dan tidak terarah kepada siapa perbuatan tindak pidana tersebut dilakukan. Jadi kalimat barang siapa lebih mengacu kepada aturan yang bersifat formil, sedangkan aturan yang bersifat materiilnya sudah diatur dan disebutkan secara jelas di ketiga pasal tersebut. Pada ketiga pasal tersebut, jelas disebutkan adanya perbuatan materiilnya, seperti:
1. Pasal 65 menyebutkan bahwa perbuatan materiilnya yaitu pada Pasal 2 ayat (3) yaitu penggunaan uang
rupiah dalam wilayah Republik Indonesia.
2. Pasal 66 menyebutkan bahwa perbuatan materiilnya yaitu pada Pasal 2 ayat (4) yaitu meNo.lak untuk
menerima uang rupiah sebagai pembayaran.
3. Pasal 67 menyebutkan bahwa perbuatan materillnya yaitu pada Pasal 9 ayat (1) yaitu pihak lain yang
akan melakukan campur tangan pelaksanaan tugas12 Bank Indonesia.
Khusus untuk Pasal 66 perbuatan materiilnya dilakukan oleh orang dan badan hukum, sedangkan pada Pasal 67 perbuatan materiilnya dilakukan oleh pihak lain, yaitu semua pihak di luar Bank Indonesia, termasuk pemerintah dan/atau lembaga-lembaga lainnya. Khusus untuk Pasal 65, merupakan tindak pelanggaran apabila tidak menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban dalam menggunakan uang rupiah. Bentuk pelanggaran ini termasuk ringan, sebab kewajiban untuk menggunakan mata uang nasional merupakan suatu doktrin dari setiap negara untuk mengamankan mata uang nasionalnya. Walaupun demikiran doktrin ini tidak berlaku apabila diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangannya, sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 ayat (3), kecuali apabila ditetapkan lain dengan Peraturan Bank Indonesia. Hal ini wajar mengingat dalam praktek pariwisata dan perdagangan internasional, tentu para pelaku usaha akan menggunakan mata uang asing, misalnya dollar Amerika Serikat.
Pada Pasal 66 disebutkan tindak pidana tersebut dilakukan apabila orang atau badan menolak untuk menerima uang rupiah sebagai pembayaran atau kewajiban lainnya. Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi nilai mata uang Rupiah. Dalam pelaksanaan ketentuan ini akan semakin sulit bila hadapkan dengan dunia pariwisata dan transaksi perdagangan ekspor-impor. Dalam prakteknya hal ini sudah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Pasal 2 ayat (3) jo UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar. Untuk Pasal 67, hal tindak pidana ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang paham tentang seluk beluk Perbankan atau mantan pejabat Bank atau karyawan Bank. Hanya merekalah yang mungkin dapat melakukannya, dan perbuatan ini diperkuat apabila ada dugaan kerja sama dengan pihak Bank Indonesia, atau ada tekanan kepada pihak Bank Indonesia, baik tekanan politik ataupun tekanan jabatan yang lebih tinggi dari pihak Bank Indonesia. Sebab mustahil dalam UU BI disebutkan pula adanya tindak pidana yang dilakukan oleh internal Bank Indonesia, seperti tindak pidana yang dilakukan oleh Anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia, apabila mereka melakukan perbuatan materiil yang dilarang sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2).
Adanya pengaturan ini membuktikan bahwa adanya persamaan hukum bagi semua orang, termasuk bagi jajaran Bank Indonesia dapat dikenakan sanksi apabila melanggar ketentuan ini. Pengaturan sanksi pada ketentuan Pasal 71 ayat (1) mengandung 2 peristiwa hukum; Pertama, ketentuan ayat ini dikenakan untuk kalangan internal Bank Indonesia, yang oleh Bank Indonesia, mereka ditunjuk untuk melakukan tugas khusus dan kepada mereka berlaku rahasia jabatan untuk tidak melakukan hal-hal yang telah disepakati dalam pekerjaannya tersebut.
Kedua, ayat ini menyebutkan adanya pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia untuk melakukan tugas tertentu dan kepada mereka tetap berlaku rahasia jabatan dan hubungan perdata antara Bank Indonesia dan pihak lain tersebut. Berdasarkan dua peristiwa hukum tersebut, maka kepada mereka berlaku ketentuan untuk tidak memberikan data atau informasi lainnya kepada pihak lain selain Bank Indonesia.
Pengaturan diatas sangat penting mengingat data dan informasi yang berkaitan dengan Bank Indonesia bisa mempengaruhi iklim politik suatu negara serta iklim moneter negara tersebut. UU BI juga mengatur bahwa Bank Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana apabila melakukan tindak pidana dalam bentuk pelanggaran, yang perbuatan materiilnya sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (4) yaitu membeli sendiri surat-surat utang negara, kecuali di pasar sekunder.
Pada Pasal 70 ayat (2) disebutkan bahwa pihak yang akan dimintai pertanggung jawaban adalah 1) mereka yang memberi perintah, 2) mereka yang melakukan perbuatan, atau 3) mereka yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan dimaksud dan 4) terhadap ketiga-tiganya.
Perbuatan tindak pidana Perbankan yang dapat dilakukan oleh badan termasuk dalam Pasal 69 dan Pasal 71 ayat (2). Pada Pasal 6915 disebutkan badan dapat dikenakan tindak pidana Perbankan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (3), yaitu apabila melakukan perbuatan materil dalam bentuk tidak memberikan keterangan dan data yang diperlukan oleh Bank Indonesia. Apabila ketentuan Pasal 69 jo Pasal 14 ayat (3) dihubungkan dengan sistem hukum yang ada, maka pengaturan kedua pasal tersebut bisa dikatakan sumir dan tidak terarah, sebab dalam pengertian badan hukum, maka badan dapat dikategorikan atas badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Jadi makna kata badan bisa mengarah kepada salah satu dari pengertian badan tersebut.
Pasal 72 merupakan pasal-pasal pemberatan yang akan dikenakan terhadap jajaran Bank Indonesia atau pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam UU ini. Hanya saja pasal pemberatannya hanya bersifat administratif dalam bentuk 1) denda, 2) teguran tertulis, 3) pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang atau 4) pengenaan sanksi disiplin kepegawaiaan.
Sementara itu kewenangan Bank Indonesia mulai berkurang, sejak diundnagkannya UU No. 23 Tahun 1999 dan UU No. 3 Tahun 2004, hal ini diakarenakan statusnya yang sudah lepas dari lembaga eksekutif. Pengurangan kewenangan ini tampak dari ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 yang menyebutkan antara lain, pada ayat (1) tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang”, sedangkan pada ayat (2) pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilakukan selambat-lambatnya 31 Desember 2002”. Hanya saja sampai pada akhir tahun 2002, lembaga dimaksud belum terbentuk.
Kemudian pada UU No. 3 Tahun 2004, yaitu dengan dibentuknya suatu badan supervisi yang mempunyai tugas untuk membantu DPR dalam mengawasi Bank Indonesia. Tugas Badan Supervisi tersebut akan ditetapkan oleh DPR, jelas ini juga merupakan bentuk pengurangan kewenangan Bank Indonesia.
Dengan adanya pengurangan tersebut, sekiranya Bank Indonesia dapat berfungsi oftimal sebagai Bank Sentral, dan menjadi lembaga keungan utama yang mengatur sistem moneter yang lebih baik, dan mampu menstabilkan sistem ekonomi dan perbankan di Indonesia.
D Penutup
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa tindak pidana Perbankan sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ada yang bersifat tegas dan nyata dan ada pula tindak pidana Perbankan tidak bersifat tegas dan nyata. Misalnya pengenaan sanksi yang berhubungan dengan penggunaan mata uang No.n Rupiah, di satu sisi dapat dibenarkan tapi di sisi lain pengaturan bisa bersifat tidak tegas, karena dalam prakteknya seperti di bidang pariwisata, banyak pelaku usaha pariwisata menerima mata uang asing (dollar) untuk kegiatan pariwisatanya.
Kemudian bahwa secara normatif pengaturan sanksi dalam UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 3 Tahun 2004 sudah memposisikan bahwa tugas dan kewenangan Bank Indonesia sebagai lembaga keuangan negara yang mengurusi masalah Perbankan di Indonesia. Hanya saja dalam implementasi UU BI ternyata tidak sejalan dengan perkembangan dunia Perbankan pada umumnya terutama perkembangan dunia Perbankan di luar negeri. Hal ini terjadi karena penerapan sanksi yang dimaksud pada UU BI hanya sebatas kepada UU tersebut dan bila ingin mengaitkan dengan pelanggaran teknis Perbankan, maka pengenaan sanksinya tunduk kepada UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Untuk memaksimalkan penerapan sanksi yang diatur dalam UU BI, kiranya perlu segera dibentuk UU Perbankan yang baru, yang lebih kondusif dan secara detail mengatur hal-hal yang berhubungan dengan pelanggaran hukum perbankan.
Daftar Pustaka
1. R. Subekti, Tjitro Subidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : Pradnya Paramita, 1986.
2. Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Undang-Undang Tentang Perbankan, Bandung : Nuansa Aulia,
2006.
3. Sri Gambir Melati Hatta, Pelangi Hukum Bisnis, Jakarta : ISTN, 1999.
4. Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
5. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
9. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
10. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
11. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selasa, 26 Mei 2009
Blog Archive
Popular Posts
-
PROLOG Sesuai dengan perkembangan zaman dan terus bertambahnya kebutuhan masyarakat di bidang jasa hukum,saat ini tugas seorang advokat t...
-
Abstrak Arus globalisasi HAM telah memberi akses yang luas kepada setiap masyarakat Indonesia untuk memahami nilai dan konsep perlindungan ...
-
PROLOG Krisis gobal yang melanda dunia sangat mempengaruhi nasib para tenaga kerja diseluruh penjuru dunia yang dampaknya juga dirasakan...
Blogger templates
Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.
Categories
- advokat
- ahli waris
- AJB
- amanah
- anak
- anak angkat
- APBN
- artis
- ayah
- bank
- beli tanah
- berjanji
- bisnis
- Cari Kerja
- cerai
- depkloketor
- ekonomi kerakyatan
- fakta
- girik
- gonogini
- hak
- hak asuh
- hak asuh anak
- hak waris
- HAM
- hamil
- harta
- harta bersama
- harta gono gini
- harta warisan
- hukum
- hukum alat bukti
- hukum mayantara
- hukum nikah
- hukum perbankan
- hukum perkawinan
- hukum tenaga kerja
- ibu
- istri
- jahat
- jual
- kandungan
- kantor
- Kawin Kontrak
- KDART
- kejahatan
- kejahatan mayantara
- kekuatan
- keluarga
- khianat
- konsultan
- kredit
- kriminal
- KUHP
- KUHPerdata
- lahan
- lahir
- Legal
- mas kawin
- masalah kerja
- membuktikan
- Mencari pekerjaan
- meninggal
- motor
- negosiasi
- nikah sirih
- Pajak
- Pegadaian
- pejabat
- Pengacara
- pengusaha
- penjadwalan ulang utang
- penyerobotan tanah
- perceraian
- perdata
- perempuan
- perjanjian
- Perjanjian Kerja
- perkawinan
- pernikahan
- pewaris
- PHK
- pidana
- pihak ketiga
- polisi
- rakyat
- saksi
- sengketa tanah
- sepeda
- sertifikat
- shm
- suami
- syber
- tanah sengketa
- Tenaga kerja
- teror
- tidak harmonis
- tindak pidana
- uang
- undang-undang
- utang bank
- UU
- UU Gender
- UU Perbankan
- visum
- wanita
- warisan
Blogroll
- Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
- Aliquam tincidunt mauris eu risus.
- Vestibulum auctor dapibus neque.
About
Copyright ©
LAW FIRM PURWADI, SH & ASSOCIATES | Powered by Blogger
Design by Flythemes | Blogger Theme by btemplates.com/author/new-blogger-themes
0 komentar:
Posting Komentar